Avonturir: Sebuah Kenangan

image_ avonturir-nomaden manSalah satu kegemaran saya ialah avontur (adventure), berpetualang, menjadi manusia nomaden. Saat SMA, saya sering kerja serabutan di sore dan malam hari. Hasil dari kerja tersebut, saya tabung sedikit demi sedikit untuk kemudian saya pakai keluyuran di saat liburan. Salah satu bentuk avontur yang paling saya sukai ialah mendaki gunung. Sebuah petualangan yang penuh sensasi, sangat indah dikenang.

Saya menghabiskan masa SMA di sebuah kota kecil dekat pantai utara di bagian timur Pulau Jawa. Dengan letak yang strategis sebagai jalan poros Surabaya – Jakarta, menjadikan kota saya adalah kota 24 jam, tidak kesulitan untuk mendapatkan sarana transportasi. Tentu saja, sebagaimana lazimnya para nomaden, untuk menghemat kantong maka pilihan yang paling tepat adalah ‘nggandol’ alias nebeng di truk-truk yang melintas.Terkadang juga pakai kereta api. Memburu truk, meloncat naik ke atas bak, atau juga harus tiba-tiba meloncat turun karena jalur truk yang ditumpangi ternyata tidak searah dengan tujuan avontur, adalah pengalaman yang kerap dialami. Unik dan mendebarkan.

Masa muda, hanya dialami sekali. Tentu, semua orang ingin melewatinya dengan bahagia, dengan pengalaman-pengalaman indah untuk suatu ketika bisa diceritakan kepada anak cucu. Semua orang ingin “muda foya-foya; tua kaya-raya; mati masuk surga”.

Sayang, hanya sebagian orang yang kebetulan terlahir dengan keberuntungan berada dalam situasi keluarga mampu. Sebagian lagi yang lain, ialah anak-anak muda dari keluarga pas-pasan, yang problem hidupnya selalu berpusar pada masalah ekonomi. Untuk anak muda dari golongan pertama tadi, tentu tidak ada masalah jika ingin berpetualang dan traveling. Uang bukanlah masalah. Tapi bagaimana dengan golongan kedua, yang juga golongan terbesar warga negeri ini?

Satu hal yang perlu dilakukan ialah membaca situasi di sekitar. Apa yang bisa dikerjakan untuk dapat menghasilkan uang tanpa mengganggu aktifitas sebagai pelajar. Jangan larut pada himpitan masalah ekonomi. Pandai-pandailah membahagiakan diri dengan mengakali keadaan. Tentu dengan catatan, jangan sampai mengganggu orang lain.

Berpetualang, berkelana, naik gunung, adalah kebahagiaan tersendiri buat saya. Dengan menjadi avonturir, maka saya membahagiakan diri saya, membuat jejak-jejak indah masa muda. Maka untuk mengakali kondisi saya sebagai anak muda dari keluarga pas-pasan, di sore hari saya jadi pekerja di sawah dengan upah setengah hari. Kadangkala, jadi kuli bangunan pada hari Minggu atau hari libur. Pernah juga jadi loper koran. Yah, apa sajalah yang penting halal dan profesional. Semua pekerjaan, bagi saya, punya derajat yang sama. Semuanya membutuhkan kompetensi dan kemampuan.  Hasil dari kerja tersebut? Ditabung, untuk kemudian dihabiskan buat membahagiakan masa muda saya. Dan, salah satu bentuk membahagiakan masa muda adalah dengan avontur, keluyuran, berkelana, menjadi manusia nomaden.

Yah, sebuah romantisisme masa muda.

Gunung Arjuno, Jawa Timur, itulah pengalaman pertama saya mendaki gunung. Sendirian, dengan  jalur Pandaan lewat Kaki Bodo. Luar biasa. Selamanya akan selalu terkenang.

bawakaraeng menjelang upacara 17 agustus 07_source www.inart.wordpress.comPerjalanan hidup saya kemudian, berpindah ke Makassar, kuliah di UNM (dulu IKIP Ujungpandang). Selain mengajar di tempat kursus dan jadi honorer di sekolah, kegiatan mendaki gunung tetap saya lakukan. Mendaki gunung, boleh dikata, sudah menjadi candu dalam diri saya. Gunung Bawakareng, Sulawesi Selatan, menjadi salah satu gunung favorit untuk ber-avontur. Bagi pendaki biasa seperti saya, jalur yang umumnya dilewati ialah Lembanna – Malino. Pernah dua kali lewat Manippi – Sinjai. Bawakaraeng, bagi saya, adalah sebuah gunung dengan banyak eksotisme, sangat menakjubkan. Sebuah kenangan abadi yang jadi saksi akan perenungan saat di puncak Bawakaraeng, buat saya pribadi, ialah sebuah cerpen saya yang berhasil dimuat Harian Fajar Makassar edisi 16 Maret 1997.

Ide cerpen saya tersebut sederhana, bahwa hidup seperti mendaki gunung. Kita berjuang mencapai puncak, menggapai kesuksesan. Ketika telah diraih, lalu apa? Kembali turun, meninggalkan semuanya.

Ya, anak muda. Berpetualanglah. Mengembara. Susuri keluasan samodra hidup, hisap aroma dari sudut-sudut semesta ini. Rasakanlah dingin yang menusuk, kabut yang melayang-layang, cadasnya bebatuan, lembutnya kesiur angin, hijaunya dedaunan, dan terbangkan mimpi-mimpimu ke atap-atap langit yang penuh taburan bintang. Ambil hikmah, petik pelajaran yang alam berikan. Sebelum waktumu habis, sebelum masamu usai…

Karena, hidup yang indah ialah: “sekali berarti; sudah itu mati!”

****

4 thoughts on “Avonturir: Sebuah Kenangan

  1. setuju… saya juga suka bertualang… meski selalu dapat tentangan kerana saya hanya seorang perempuan T.T
    tapi anehnya saya suka dingin menusuk itu, saya kangen timbunan laktat di otot saya, saya suka debu mencoreng muka saya, dan matahari yang menghitamkan kulitku… aku cinta alam ini…

Leave a comment