Meskipun Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 160 Tahun 2014 tentang pemberlakuan Kurikulum 2006 dan 2013 telah ditetapkan, ternyata pelaksanaan di lapangan tidak sesuai dengan yang diamanatkan dalam Permendikbud tersebut. Masih banyak sekolah yang tetap melanjutkan Kurikulum 2013 (K13) dengan berbagai macam alasan.
Padahal dalam Permendikbud No 160 Tahun 2014 tersebut sangatlah jelas acuan bagi sekolah yang diperbolehkan tetap menggunakan K13. Pasal 1 menyatakan bahwa “sekolah yang baru mulai melaksanakan K13 di semester ganjil 2014/2015, maka kembali ke Kurikulum 2006 mulai semester genap 2014/2015”. Dengan kata lain, sekolah yang baru melaksanakan K13 satu semester, seharusnya kembali menggunakan Kurikulum 2006 (KTSP) untuk semester genap 2014/2015.
Kenyataannya, banyak sekolah yang tidak menghiraukan Permendikbud tersebut dan kompak menyatakan sikap tetap melanjutkan pelaksanaan Kurikulum 2013. Beberapa diantaranya dengan disertai pernyataan tertulis bahwa sekolahnya siap, baik itu dari segi fasilitas maupun kualitas pengajar dalam melaksanakan K13.
Pertanyaannya kemudian ialah: “Mengapa Permendikbud tersebut tidak dilaksanakan, bahkan seperti ada semacam pembangkangan dan perlawanan? Ada apa dibalik itu?”
Ya, tentu jawabannya, secara umum, jelas… faktor kepentingan. Yang pertama, kepentingan daerah. Dalam bingkai Otonomi Daerah, tarik ulur kewenangan antara pusat (Kemendikbud) dan daerah (Kota/pemkab) selalu terjadi. Kurikulum 2013 bukan hanya soal seperangkat aturan pembelajaran, tetapi juga terkait dengan dana, dengan anggaran… yang ujung-ujungnya tentu saja proyek. Mulai proyek pengadaan buku, media, sampai dengan pelatihan-pelatihan guru. Nah, ketika semuanya sudah direncakan, dianggarkan atau sebagian dana sudah dicairkan, kemudian tiba-tiba dibatalkan… jelas banyak pihak yang merasa dirugikan. Maka diusahakanlah agar K13 tersebut tetap dilanjutkan. Caranya? Sederhana saja. Dinas pendidikan daerah tinggal instruksikan saja ke bawah. Kepala sekolah dan guru sebagian besar ber-status PNSD. Siapa atasannya? Lebih bertaji mana, antara pemerintah daerah/ kepala dinas pendidikan dengan Kemdikbud?
Sedangkan faktor kepentingan dari pihak sekolah dan guru, terkait dengan alokasi jam mengajar. Pada K13, misal di tingkat SMP, jumlah jam bertambah. Dengan demikian Tunjangan Profesi Guru (TPG) pun aman, karena syarat minimal 24 jam menjadi mudah terpenuhi. Guru-guru penerima TPG tidak perlu pusing lagi mencari jam tambahan di sekolah lain.
Selain itu, banyak kalangan pendidik yang berpendapat bahwa Kurikulum 2013 ujung-ujungnya juga nanti diterapkan. Cepat atau lambat, K13 tetap diberlakukan. Jadi buat apa dihentikan kalau pada akhirnya nanti dipakai lagi?
Menyikapi hal tersebut, maka Kemendikbud harus segera melakukan verifikasi terhadap sekolah-sekolah pada kategori pasal 1 dari Permendikbud 160/2014. Apakah sikap sekolah yang tetap melanjutkan Kurikulum 2013 betul-betul karena sudah siap terhadap K13 ataukah hanya karena faktor-faktor kepentingan di atas? Jangan sampai, regulasi selevel Peraturan Menteri hanya jadi sebatas himbauan saja, atau bisa jadi dianggap angin lalu.
***